PENAGIHAN PAJAK
DISUSUN OLEH:
MUJARIAH
1201134739

JURUSAN ADMINISTRASI
BISNIS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2013
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum,wr.wb
Puji
dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas erkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Administrasi Perpajakan dan
Praktikum Komputer tentang “Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak” dengan baik dan lancar.
Penulis ucapkan terima kasih kepada
dosen yang telah mengajar mata kuliah Administrasi Perpajakan dan Praktikum
Komputer yang telah membantu penulis selama praktikum dan penulisan paper ini.
Serta terimakasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penulisan paper ini.
Dilatar belakangi oleh keterbatasan
wawasan serta ilmu pengetahuan yang penulis miliki, maka dengan kerendahan hati
penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun demi kesempurnaan
laporan ini.
Akhirnya
penulis mengucapkan terima kasih, semoga paper ini dapat bermanfaat untuk kita
semua.
Waalaikumsalam,wr.wb
Pekanbaru, 22 Oktober 2013
DAFTAR ISI
Isi
Halaman
KATA
PENGANTAR............................................................. i
DAFTAR
ISI........................................................................... ii
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang................................................................... 1
1.2. Rumusan
Masalah.............................................................. 2
1.3. Tujuan
dan Manfaat............................................................ 3
II. PEMBAHASAN
2.1.PENAGIHAN
PAJAK........................................................ 4
2.2. penagihan
pajak dengan surat paksa..................................... 13
III.KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan.......................................................................... 23
4.2. Saran................................................................................... 24
DAFTAR
PUSTAKA
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pembangunan nasional adalah kegiatan
yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan. Pembangunan
tersebut bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan rakyat
Indonesia secara adil, makmur dan merata. Agar tujuan tersebut dapat terwujud
maka dibutuhkan dana, yang salah satunya
berasal dari penerimaan pajak. Pajak merupakan pendapatan negara yang cukup
potensial, untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Penerimaan dari sektor pajak ternyata salah satu sumber penerimaan
terbesar negara. Negara akan maju kalau
pajak tetap ada dan negara akan hancur kalau tidak ada pajak. Buktinya,
kontribusi pajak dalam APBN sejak tahun 2006 sampai tahun 2010 terus meningkat.
Pada tahun 2006 saja kontr ibusi pajak sudah 56,5%, lalu tahun 2007 naik jadi
61,7%, tahun 2008 menjadi 70,3%, tahun 2009 menjadi 72,5% dan tahun 2010 hampir mencapai 80%, artinya bahwa
kelangsungan hidup bernegara didominasi dan ditentukan dari besarnya penerimaan
pajak. Dari tahun ke tahun terlihat
bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil besar dalam penerimaan
negara, oleh sebab itu penerimaan dari
sektor pajak selalu dikatakan primadona dalam membiayai pembangunan nasional. Peran
fiskus dalam penerimaan pajak mempunyai
andil besar sebagai pengawas wajib pajak dalam melaporkan dan membayar
kewajiban perpajakannya guna mengurangi jumlah tunggakan pajak yang berpengaruh
terhadap penerimaan pajak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk
mengamankan penerimaan negara dan meminimalisir wajib pajak menunggak dalam pembayaran pajaknya, pemerintah khususnya Direktorat Jenderal
Pajak melakukan tindakan penagihan pajak
yang dilindungi oleh paying hukum berupa Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
Pelunasan utang pajak merupakan salah
satu tujuan penting dari pemberlakuan undang-undang ini. Penagihan pajak yang
efektif merupakan sarana yang tepat untuk mencapai target penerimaan pajak yang maksimal. Apabila kekurangan pajak sebagaimana
tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak tersebut sampai
dengan jatuh tempo, maka penagihan pajak dianggap perlu untuk dilaksanakan
sebagai salah satu upaya pencapaian penerimaan
pajak.
Adapun dalam pelaksanaan penagihan pajak
tersebut turut melibatkan peran aktif dari aparatur pajak yang biasa disebut
fiskus. Namun hal yang paling penting untuk diperhatikan oleh fiskus dalam penagihan pajak yaitu suatu
kewajiban perpajakan dianggap telah
hilang atau gugur apabila telah melewati jangka waktu tertentu. Dengan mencegah daluwarsa penagihan pajak,
berarti juga menyelamatkan penerimaaan pajak negara. Peran aktif fiskus dalam pelaksanaan pencairan
tunggakan pajak sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan
dari sektor pajak dapat dilakukan dengan
cara menerbitkan Surat Paksa.
1.2. Rumusan Masalah
Penulis
akan mengangkat dan membatasi lingkup permasalahan sebagai berikut:
1. Seberapa
besar efektivitas dan kontribusi
penagihan pajak dengan Surat Paksa terhadap pencairan tunggakan pajak ?
2. Apa sajakah kendala yang timbul dalam pelaksanaan penagihan pajak
dengan Surat Paksa ?
3.
Bagaimana cara mengatasi
permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa ?
1.3. Tujuan dan Manfaat
Adapun
tujuan dari pembuatan paper ini adalah:
1.
Memahami efektivitas dan kontribusi
penagihan pajak dengan Surat Paksa dalam rangka pencairan tunggakan pajak.
2.
Untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa.
3.
Untuk mengetahui cara mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa .
Adapun
manfaat dari pembuatan paper ini adalah:
1. Bagi Mahasiswa, untuk dapat menambah
pengetahuan dan wawasan di bidang perpajakan
3. Bagi masyarakat, diharapkan dapat memberi informasi tentang
penagihan
pajak dengan surat paksa.
II.
PEMBAHASAN
2.1 Penagihan Pajak
2.2.1 Pengertian Penagihan Pajak
Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas,
konsisten dan konsekuen diharapkan akan dapat membawa pengaruh positif terhadap
kepatuhan Wajib Pajak dalam membayarkan hutang pajaknya. Hal ini merupakan
posisi strategis dalam meningkatkan
penerimaan negara dari sektor pajak
sehingga tindakan penagihan pajak tersebut dapat menyelamatkan
penerimaan pajak yang tertunda. Kegiatan
penagihan pajak merupakan ujung tombak dalam
menyelamatkan penerimaan Negara
yang tertunda, oleh sebab itu seksi penagihan
merupakan seksi produksi yang paling dibanggakan oleh Direktorat Jendral
Pajak. Dalam pelaksanaannya penagihan pajak haruslah dilandaskan pada peraturan perundang - undangan yang
berlaku, sehingga mempunyai kekuatan
hukum baik bagi Wajib Pajak maupun aparatur pajaknya.
Dasar hukum melakukan tindakan penagihan
pajak adalah Undang-undang No. 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa. Undang-undang ini mulai berlaku tanggal 23 Mei 1997. Undang
-undang ini kemudian diubah dengan Undang-undang No. 19 tahun 2000 yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Menurut pendapat para ahli penagihan pajak
dapat didefinisikan sebagai :
Muhammad Rusjdi (2007:17): ”Penagihan pajak adalah perbuatan yang
dilakukan Direktorat Jendral Pajak karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan
Undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang.”
Definisi lain menurut Mardiasmo
(2009:13): “Penagihan pajak adalah kegiatan
yang dilakukan oleh fiskus karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan
Undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang, penagihan pajak meliputi kegiatan,
perbuatan dan pengiriman surat peringatan, surat teguran, surat paksa,
penyitaan, lelang, pencegahan dan
penyanderan.”
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa penagihan pajak adalah perbuatan yang dilakukan Direktorat
Jendral Pajak atau fiskus karena Wajib
Pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-undang
pajak, khususnya mengenai
pembayaran pajak dengan melaksanakan
pengiriman surat peringatan, surat teguran, surat paksa, penyitaan dan
pelelangan.
Dasar
penagihan pajak, antara lain:
1. Surat Tagihan Pajak (STP)
STP diterbitkan apabila pajak dalam
tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, Wajib Pajak dikenakan sanksi
administrasi berupa denda administrasi dan/atau bunga. Dari hasil penelitian
Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan
pembayaran pajak sebagai akibat salah
tulis dan/atau salah hitung. Surat
Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB)
SKPKB ditebitkan tehadap wajib
pajak yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi
kewajiban formal dan kewajiban material
Pepajakan.
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT)
SKPKBT dapat ditebitkan Dirjen Pajak
dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat terutang pajak, apabila ditemukan data
baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan
jumlah pajak yang terutang.
4. Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan dan Putusan
Banding yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah. Apabila utang pajak yang tercantum dalam Surat
Ketetapan diatas tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran, maka dapat segera dilaksanakan tindakan penagihan aktif.
Istilah-istilah
yang berhubungan dengan Penagihan Pajak :
a. “Penagihan
Pajak adalah serangkaian tindakan oleh jurusita agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, memberitahukan Surat Paksa,
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah
disita. (UU.PPSP ps 1 ayat ( 9) ).
b. Penanggung Pajak adalah orang
pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil
yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. (UU.PPSP ps 1 ayat (3) ).
c.
Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda atau
kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. (UU.PPSP ps 1 ayat (8) ).
d. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman
Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai
dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak. (UU.PPSP ps 1 ayat
(13) ).
e. Penagihan
Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh
Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa
menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang
pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak. (UU.PPSP ps 1 ayat (11) ).
f. Surat Paksa adalah surat perintah membayar
utang pajak dan biaya penagihan pajak. (UU.PPSP ps 1 ayat (12) ).
g. Pencegahan
adalah larangan bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk
keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasar alas an tertentu sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. (UU.PPSP ps 1 ayat (20) ).
h. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak
untuk menguasai barang Penanggung Pajak,
guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan
perundang-undangan.(UU.PPSP ps 1 ayat (14) ).
i.
Penyanderaan adalah pengekangan
sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak
dengan menempatkannya di tempat tertentu. (UU.PPSP ps 1 ayat (21) ).
j. Lelang adalah setiap penjualan barang dimuka
umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha
pengumpulan peminat atau calon pembeli. (UU.PPSP ps 1 ayat (17) ).”
2.1.2
Tindakan Penagihan Pajak
Tindakan penagihan pajak dilakukan
apabila pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan Pajak
(STP), SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding yang menyebabkan pajak
yang harus dibayar bertambah, tidak atau kurang
bayar setelah lewat tanggal jatuh
tempo pembayaran pajak yang bersangkutan.
Dalam bidang administrasi perpajakan dikenal beberapa bentuk tindakan penagihan yaitu penagihan pasif,
penagihan aktif dan penagihan dengan surat paksa.
1. Penagihan
Pasif
Penagihan
pasif adalah tindakan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan cara memberikan himbauan kepada Wajib
Pajak agar melakukan pembayaran pajak
sebelum tanggal jatuh tempo. Penagihan
pajak dilakukan dengan menggunakan
Surat Tagihan Pajak (STP), SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang
menyebabkan jumlah pajak terutang
menjadi lebih besar. Penagihan pasif merupakan tugas pengawasan fiskus atau kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya
sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
2. Penagihan
Aktif
Penagihan
aktif adalah penagihan yang didasarkan pada STP, SKPKB, SKPKBT
yang jatuh temponya telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan yaitu 1 bulan terhitung mulai
dari STP, SKPKB, SKPKBT diterbitkan. Penagihan aktif ini merupakan kelanjutan
dari penagihan pasif, oleh sebab
itu dalam upaya penagihan ini fiskus
berperan aktif, dalam arti tidak hanya
mengirim STP atau SKP tetapi juga
akan diikuti dengan tindakan dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.
2.1.3
Dasar Hukum Penagihan Pajak
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
yang telah berulangkali diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007
selanjutnya disebut UU KUP.
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2000 selanjutnya disebut
UU.PPSP.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
23/PMK/.03.2008 sebagaimana yang
telah diubah dengan
Nomor 83/PMK.03/2010 Tentang Tata
Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak.
4.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Dan
Sekaligus Dan Pelaksanaan Surat Paksa.
5.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 562/KMK.04/2000 Tentang Syarat-Syarat, Tata
Cara Pengangkatan Dan Pemberhentian Juru Sita Pajak.
6. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 sebagaimana yang telah
diubah dengan Nomor 84/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara
Penerbitan Surat Tagihan Pajak.
7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 24/PMK.03/2008 sebagaimana yang
telah diubah dengan
Nomor 85/PMK.03/2010 Tentang Perubahan Atas Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa Dan Pelaksanaan Penagihan Seketika Dan
Sekaligus.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 Tentang Prosedur Penerbitan
Kembali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Dan Atau Surat Tagihan Pajak.
9. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE
-82/PJ/2010 TentangPetunjuk Pelaksanaan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-36/PJ/2010 Tentang Prosedur
Penerbitan Kembali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Dan Atau Surat Tagihan Pajak.
2.1.4
Tinjauan Umum Penagihan Pajak
1. Utang Pajak
Berdasarkan UU PPSP pasal 1 ayat (8), Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda atau
kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2.
Penanggung Pajak
Berdasarkan UU PPSP pasal 1 ayat (3),
Penanggung Pajak adalah orang
pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan.
3.
Penagihan Pajak
Dalam melaksanakan Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa, perlu diketahui dan
dipahami dalam beberapa pengertian yang telah
ditetapkan dan dalam Undang-Undang atau peraturan pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
4. Jurusita Pajak
Pengertian Jurusita berdasarkan UU PPSP
pasal 1 ayat (6) adalah
pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan
Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
a. Syarat - syarat
Untuk dapat diangkat menjadi Jurusita
Pajak harus memenuhi syarat-syarat yang
diatur dalam Pasal 2 KMK No.562/KMK.04/2000, yaitu:
1) Berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah
Umum atau yang
setingkat dengan itu.
2) Berpangkat serendah-rendanya Pengatur
Muda/Golongan II/a.
3) Berbadan sehat.
4) Lulus pendidikan dan latihan Jurusita Pajak.
5) Jujur, bertanggung jawab dan penuh
pengabdian.
b. Tugas-tugas
Berdasarkan
Pasal 5 UU PPSP, Jurusita bertugas antara lain:
1) Melaksanakan Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus.
2) Memberitahukan Surat Paksa.
3) Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung
Pajak berdasarkan Surat
Perintah Melaksanakan penyitaan.
4) Melaksanakan penyanderaan berdasarkan surat
perintah penyanderaan
.
c. Wewenang dan Kewajiban
Wewenang Jurusita berdasar Pasal 5 UU PPSP
adalah memasuki dan memeriksa semua
ruangan termasuk membuka lemari, laci dan
tempat lain untuk menemukan
obyek sita di tempat usaha dan
melaksanakan penyitaan tempat kedudukan atau tempat tinggal Wajib Pajak/Penanggung Pajak atau tempat lain
yang dapat diduga sebagai tempat
penyimpanan obyek sita.
Sedangkan
kewajiban Jurusita Pajak adalah:
1) Memperlihatkan tanda pengenal Jurusita.
2) Memberitahukan dengan pernyataan dan
penyerahan Surat Paksa.
3) Membuat berita acara pemberitahuan Surat
Paksa.
4) Membuat laporan pelaksanaan Surat Paksa.
5) Melaksanakan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan (SPMP).
6) Membuat berita acara pelaksanan sita
7) Menempelkan segel sita pada barang-barang
yang telah disita, bila dianggap perlu.
8) Menempelkan Surat Paksa (salinan) pada papan
pengumuman kantor Pejabat.
9) Meninggalkan Surat Paksa (salinan) dalam hal
Penanggung Pajak menolak
menerima salinan Surat Paksa.
d. Pemberhentian Jurusita
Berdasakan
Pasal 4 KMK No.562/KMK.04/2000, Jurusita diberhentikan apabila:
1) Meninggal dunia.
2) Pensiun.
3) Karena alih tugas kepentingan dinas lainnya.
4) Ternyata lalai atau cakap dalam menjalankan
tugas.
5) Melakukan perbuatan tercela.
6) Melanggar sumpah atau janji Jurusita Pajak.
7) Sakit Jasmani atau rohani terus-menerus.
2.2
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
2.2.1
Pengertian Surat Paksa
Dalam UU PPSP, dalam pasal 1 ayat
(12) disebutkan bahwa: “Surat Paksa adalah surat perintah membayar
utang pajak dan biaya penagihan pajak. ” Sedangkan menurut Muhammad
Rusdji (2007:25), yaitu: “surat yang diterbitkan apabila Wajib Pajak
tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo.”
Dari pengertian di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa Surat Paksa merupakan sebuah produk hukum yang bersifat
eksekutorial yang diterbitkan atas STP yang telah jatuh tempo dari terbitnya surat teguran. Dalam UU PPSP Pasal 7 ayat (1)
dijelaskan bahwa Surat Paksa
berkepala kata-kata “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial dan
kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Agar tercapai efektivitas dan efesiensi
penagihan pajak yang didasari Surat
Paksa, maka Ketentuan ini memberikan
kekuatan eksekutorial serta member kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte
yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan
pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding, (Muhammad Rusjdi, 2007:
21). Surat Paksa bersifat “Parate
Eksekusi” yang berarti dapat dilakukan langsung tanpa melalui proses Pengadilan Negeri.
2.2.2
Latar Belakang Penerbitan Surat Paksa
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) beserta
penjelasannya UU KUP, diatur mengenai
latar belakang terbitnya Surat Paksa, yaitu jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak
(STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan
Pembetulan (SKP), Surat Keputusan (SK),
serta Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan dalam ketetapan tersebut
(satu bulan sejak tanggal diterbitkan), ditagih dengan Surat Paksa.
Menurut Pasal 9 Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 561/KMK.04/2000 tentang
Penagihan Seketika dan Sekaligus dan
Pelaksanaan Surat Paksa, dijelaskan Surat Paksa diterbitkan apabila:
1. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak
dan kepadanya telah diterbitkan Surat
Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;
2. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan
Penagihan Seketika dan Sekaligus; atau
3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan
pembayaran pajak.
2.2.3
Isi dan Karakteristik Surat Paksa
Surat Paksa dapat dipandang dari dua
segi, yaitu segi isi maupun segi
karakteristiknya.
1.
Dalam UU PPSP Pasal 7 dijelaskan bahwa Surat Paksa berdasarkan segi isinya sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan
Penanggung Pajak;
b. Dasar Penagihan;
c. Besarnya Utang Pajak;
d. Dan Perintah untuk membayar dalam waktu 2 x
24 jam.
e. Tertanda Pejabat yang ditunjuk yaitu Kepala
KPP/KP PBB
2.
Surat Paksa berkepala kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sedangkan dari segi karakteristiknya Surat Paksa memuat:
a. Mempunyai kekuatan hukum yang sama
dengan Grosse Akte dari keputusan hakim dalam perkara perdata
yang tidak dapat dimintakan banding lagi pada hakim atasan.
b. Mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
c. Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak
dan biaya penagihan pajak.
d. Dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan,
penyanderaan, dan pencegahan
2.2.4
Prosedur Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Ini merupakan cara penagihan yang
terakhir dimana fiskus melalui jurusita
pajak negara menyampaikan atau
memberitahukan surat paksa, melakukan
penyitaan dan melakukan pelelangan melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang milik Wajib Pajak.
Penagihan dengan surat paksa ini
dikenal dengan penagihan yang “keras” dalam rangka melakukan Law-Enforcement di bidang perpajakan. Namun langkah ini merupakan
langkah terakhir yang dilakukan oleh
fiskus apabila tidak ada jalan lain yang dapat
dilakukan. Dalam pelaksanaan penagihan aktif tersebut dapat dilakukan
dengan 4 tahap, yaitu:
1. Surat Teguran
Penyampaian surat teguran merupakan awal
pelaksanaan tindakan penagihan oleh
fiskus untuk memperingatkan Wajib Pajak yang tidak melunasi utang pajaknya sesuai dengan
keputusan penetapan (STP, SKPKB, SKPKBT)
sampai dengan saat jatuh tempo. Definisi
surat teguran menurut Rusdji (2007:23): “Surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk
menegur Wajib Pajak agar melunasi utang pajaknya.”
Dari pengertian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa surat teguran adalah
surat yang diterbitkan oleh pejabat
untuk menegur atau memperingatkan Wajib
Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
Surat teguran dikeluarkan apabila utang pajak yang tercantum dalam SPT, SKPKB atau SKPKBT tidak dilunasi
sampai melewati waktu 7 hari dari batas
waktu jatuh tempo 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya. Menurut keputusan Menteri Keuangan no.
561/KMK.04/2000 Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa surat teguran tidak
diterbitkan terhadap penanggung pajak
yang disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.
2. Surat Paksa
Penagihan dengan surat paksa dilakukan apabila jumlah tagihan pajak tidak atau kurang bayar sampai dengan
tanggal jatuh tempo pembayaran, atau
sampai dengan jatuh tempo penundaan pembayaran atau tidak memenuhi angsuran pembayaran
pajak. Apabila Wajib Pajak lalai
melaksanakan kewajiban membayar pajak dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam
surat teguran maka penagihan selanjutnya dilakukan oleh juru sita pajak. Maka
dapat disimpulkan bahwa surat paksa
adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan
pajak yang diterbitkan apabila Wajib
Pajak tidak melunasi utang pajaknya
sampai dengan tanggal jatuh tempo.
Surat paksa diterbitkan apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan
tanggal jatuh tempo dan Penanggung Pajak
tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan
persetujuan angsuran atau penundaan
pembayarannya. Secara teori surat paksa
diterbitkan setelah surat teguran atau surat peringatan atau surat lain sejenis
yang diterbitkan oleh pejabat. Surat paksa terhadap orang pribadi diberitahukan
oleh Jurusita Pajak kepada:
a.
Penanggung pajak
b. Orang dewasa yang tinggal bersama ataupun
bekerja di tempat usahapenanggung pajak, apabila penanggung pajak yang
bersangkutan tidak dapat dijumpai
c. Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat
atau yang m engurus harta peninggalannya apabila Wajib Pajak telah meninggal
dunia dan harta warisan belum dibagi
d.
Para ahli waris, apabila Wajib Pajak
telah meninggal dunia dan harta warisan
telah dibagi.
III. KESIMPULAN DAN
SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa
penagihan pajak terjadi karena adanya tunggakan pajak, hal tersebut terjadi
karena adanya Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dalam hal
membayar kewajiban perpajakannya atau belum bisa membayar pajak terutangnya
karena jumlahnya yang cukup besar.
Dalam penatausahaan penagihan pajak,
pencatatan secara manual masih tetap dilakukan untuk menghindari terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya pencatatan pemberkasan dan kartu
pengawasan tunggakan pajak masih dicatat secara manual. Dalam hal proses
penagihan, terutama tata cara penerbitan dan pemberitahuan Surat Paksa, seksi
penagihan mengacu kepada Standart Operating Procedures Departemen Keuangan
Republik Indonesia Direktorat Jendral
Pajak nomor KPP40-0011 yang disahkan pada tanggal 13 Maret 2008.
Proses penagihan aktif dengan Surat Paksa mengalami peningktan, hal ini
disebabkan Jurusita Pajak berperan aktif dalam penerbitan dan penyampaian Surat
Paksa, sehingga proses penagihan aktif dapat berjalan optimal.
Jurusita pajak memegang peranan penting dalam
pembayaran tunggakan pajak. Namun melaksanakan kegiatan penagihan di lapangan,
Jurusita pajak seringkali tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan optimal,
karena banyak hambatan-hambatan yang mempengaruhi baik dari dalam maupun dari
luar Kantor Pelayan Pajak.
3.2
Saran
Untuk mengatasi kendala Jurusita Pajak
dalam menjalankan tugasnya agar lebih
optimal, penulis memberikan alternative solusi untuk menghilangkan
beberapa kendala atau sebisa mungkin
meminimalisirnya dengan cara sebagai berikut:
1. Direktorat Jenderal Pajak agar lebih banyak
mlakukan perekrutan pegawai dan pemberian insentif untuk Jurusita Pajak
2. Kantor Pelayanan Pajak harus mengintensifkan
kegiatan mapping penunggak pajak
terbesar agar penagihan pajak lebih efektif.
3. Direktorat Jenderal Pajak agar lebih
menggencarkan sosialisasi perpajakan terhadap wajib pajak tentang
peraturan-peraturan dan agar kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak
meningkat.
4. Upgrade dan Maintenance SIDJP secara berkala
harus dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pajak dan Pemberian diklat kepada
pegawai tentang SIDJP agar sistem tersebut dapat berfungsi secara optimal.
5. Jurusita Pajak meningkatan kerjasama dengan
pihak-pihak terkait dalam proses
penagihan pajak agar lebih memudahkan Jurusita pajak dalam menjalankan
tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007.
-------------,Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia, Nomor 562/KMK.04/2000 tentang Syarat-syarat, Tata
Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita Pajak.
-------------,Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia, Nomor 83/PMK.03/2010 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK/.03.2008 Tentang Tata Cara Penerbitan
Surat Ketetapan Pajak.
Rusjdi, Muhammad. 2007. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Jakarta :
PT. Indeks.
Waluyo.2007. Perpajakan Indonesia.
Jakarta: Salemba Empat.
Ilyas, Wirawan B. 2007. Hukum
Pajak. Jakarta: Salemba Empat.
Fahmi, Ismail. 2010. Tindakan Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
Didownload dari
https//www.repository.upi.edu/skripsilist.php. Agustus 2011.
Rahma, Aldila Laila.2010.
Efektifitas menurut Jones and Pendlebury(1996).
Didownload dari https//www.digilb.uns.ac.id/pengguna.php.
Juli 2011